Masyarakat Adat Nagari Sungai Kamuyang Limapuluh Kota Gugat Sertifikat HPL Diatas Tanah Ulayat

Ilustrasi sertifikat HPL

Sumbarheadline-Senin 16 Oktober 2023 siang, suasana rapat yang semula cukup tenang di Kantor Kerapatan Adat Nagari (KAN) Nagari Sungai Kamuyang, Kecamatan Luhak, Kabupaten Limapuluh Kota, tiba tiba berubah menjadi panas dan kisruh saat sejumlah masyarakat adat menggugat pemberian Sertifikat Hak pengelolaan (HPL) diatas tanah ulayat mereka.

Menurut sejumlah masyarakat adat setempat yang melakukan gugatan tersebut, pemberian status HPL diatas tanah ulayat sendiri dianggap kurang tepat dan justru telah mereduksi hakikat dari hukum adat nagari.

Bacaan Lainnya

Sebelumnya seperti diketahui pada Rabu (11/10) minggu kemaren,Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Marsekal TNI (Purn) Hadi Tjahjanto, secara langsung telah memberikan secara langsung sebuah sertifikat HPL atas tanah ulayat masing masing di Nagari Sungai Kamuyang dan Sitapa, Kabupaten Limapuluh Kota. Dalam sambutannya, sang Mentri mengatakan kepada warga jika pemberian sertifikat HPL tersebut merupakan bukti dari pengakuan dari pemerintah terkait keberadaan tanah ulayat, demikian paparan dari sang mentri bersama beberapa pejabat lainnya.

Akan tetapi seminggu kemudian, sejumlah masyarakat adat Nagari Sungai Kamuyang, malah justru mengritisi dan cendrung menolak terkait keberadaaan sertifikat HPL diatas tanah ulayat mereka yang terpapar lebih kurang seluas 371.095 meter persegi. Bagi mereka pemberian status HPL ditas tanah ulayat mereka sendiri sangat bertolak belakang dengan konsep hak tanah ulayat itu sendiri. Menurut masyarakat adat setempat, Tanah Ulayat merupakan bagian hak ulayat masyarakat hukum adat yang kongkrit dengan tanah dan wilayahnya, tutur mereka.

Seperti yang diungkapkan oleh salah satu tokoh muda masyarakat setempat Donal. Dalam wawancara singkatnya, Selasa (17/10) ia menjelaskan terkait pemberian sertifikat Hak pegelolaan terhadap tanah ulayat ditentang oleh banyak masyarakat adat setempat, ujarnya.

“Dalam pertemuan di Kantor KAN pada Senin (16/10) siang, membahas sosialisasi SK Mentri ATR/BPN dan sertifikat HPL sempat panas dan kisruh,” ungkapnya.

Kisruh dan panasnya suasana dalam pembahasan tersebut lantaran sejumlah warga adat menentang dan menolak keberadaan sertifikat tersebut, sambungnya lagi.

Dijelaskan alasan penolakan yang dilakukan olah masyarakat adat setempat atas keberadaan sertifikat HPL diatas tanah ulayat mereka lantaran tidak sesuai dengan rencana keinginan semula. Sebelumnya masyarakat adat nagari Sungai Kamuyang, menginginkan Pemerintah mengeluarkan sertifikat hak milik komunal untuk pendaftaran tanah ulayat mereka di BPN. Artinya masyarakat adat menginginkan status tanah ulayat bersetifikat komunal atas kepemilikan bersama kaum adat nagari. Akan tetapi pada kenyataannya pemerintah malah memberikan HPL, papar Donal.

Menurutnya lagi, dengan pemberian HPL itu jelas sebuah kesalahan vital yang berpotensi mereduksi keberadaan hukum adat atas kepemilikan tanah ulayat itu sendiri.

“Pengertian HPL itu sendiri mengacu pada konsep bahwa hak pengelolaan merupakan hak menguasai Negara atas tanah yang dapat diberikan wewenang pengelolaannya kepada yang ditunjuk,”, tukas Donal.

Jelas konsep HPL tersebut bertolak belakang dengan konsep hukum adat diatas tanah ulayat sehingga masyarakat adat menolak dan mengugat keberadaan sertifikat tersebut, tutupnya.

Sementara itu terkait adanya penolakan serta gugatan terkait keberadaan sertifikat HPL diatas tanah ulayat oleh masyarakat adat nagari Sungai Kamuyang tersebut, tanggapan berbeda datang dari Walinagari setempat itu sendiri.

Walinagari Sungai Kamuyang, Isral dalam pres rilis yang dikirimkan pada Selasa (17/10) malam, menanggapi adanya penolakan oleh sejumlah masyarakat adat terkait keberadaan sertifikat HPL. Menurutnya ia sangat memaklumi penolakan masyarakat adat tersebut. Akan tetapi dirunut dari sejarah Sungai Kamuyang, sejak Tahun 1968, masyarakat sudah resah terkait persoalan tanah ulayat yang statusnya saat itu Hak Guna Usaha (HGU) oleh pemerintah kurang lebih seluas 70 H yang terletak di Lakuak Nan Gadang dan Subaladuang, kepada salah satu perusahaan, ungkapnya.

Selanjutnya paparnya lagi, terkait pemberian HGU kepada salah satu perusahaan besar pada zamannya itu, masyarakat Sungai Kamuyang telah berusaha dan berjuang mengembalikan status asal tanah ulayat tersebut. Akan tetapi perjuangan yang dimulai sejak tahun 1968 tersebut selalu kandas dan mentah. Puncaknya pada tahun 1998 masyarakat adat bersama KAN  melakukan demo ke Kantor Gubernur Sumatera Barat. Namun usaha itu belum sepenuhnya berhasil. Lahan ulayat kami yang sempat berstatus HGU berhasil dikuasai kembali oleh masyarakat adat nagari dan dipayungi dengan Peraturan Nagari, akan tetapi masih belum kepastian hukum yang kuat. Untuk itulah beberapa hari yang lalu dengan datangnya Mentri ATR/BPN ke Limapuluh Kota memberikan Sertifikat HPL, warga merasa tanah ulayat mereka telah memiliki status hukum yang jelas serta kuat.

“Tanah Ulayat Berstatus HPL memiliki sifat tidak dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain tanpa wewenang dari masyarakat hukum adat”, tegasnya

Dengan adanya  Status HPL tersebut maka tanah ulayat yang dulu sempat dikuasai oleh pihak lain, maka ke depannya, masyarakat adat telah memiliki pegangan yang kuat, jelas Isral menerangkan.

Terpisah, terkait kisruh serta persoalan terhadap pro serta kontranya masyarakat Sungai Kamuyang terkait atas pemberian sertifikat HPL atas status tanah ulayat setempat, ditanggapi secara akademis oleh Dekan Fakultas Hukum UMSB sekaligus pakar hukum adat Wendra Yunaldi.

Menurutnya, pertama tama usaha Pemerintah untuk menekan konflik yang terjadi di masyarakat terkait persoalan agraria atau pertanahan patut diacungi jempol. Akan tetapi yang jadi pertanyaan memberikan sertifikat HPL diatas status tanah ulayat perlu juga untuk dikeritisi, ungkapnya. Ia menjelaskan Konsep HPL bukanlah berasal dari Undang Undang Pokok Agraria (UUPA). Akan tetapi HPL lahir berdasarkan peraturan Mentri Agraria No 9 Tahun 1965 Tentang pelaksanaan konvesi Hak Menguasai Negara dan Ketentuan Ketentuan Mengambil Kebijakan selanjutnya.

Dalam perkembangannya, seiring kemajuan zaman, konsep HPL diperbarui dengan berdasarkan Undang Undang Cipta Kerja dengan lahirnya PP 18 Tahun 2021 Pasal 1 Ayat 3 yang berbunyi,” Hak pengelolaan adalah hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaanya sebagian dilimpahkan kepada pemegang Hak pengelolaan”.

Artinya menurut pakar hukum Tata Negara tersebut konsep HPL jelas menerangkan sebuah konsep Hak menguasai Negara yang kewenangan pelaksanaan bisa ditunjuk kepihak pihak tertentu.

Di satu sisi konsep tanah ulayat adalah sebuah konsep Hak ulayat masyarakat hukum adat dimana merupakan hubungan hukum yang kongkret antara masyarakat hukum adat dengan tanah dan wilayahnya. Dari penjelasan masing masing pengertian tersebut satu dan lainnya terjadi kontradiksi yang tidak bisa disatukan. Adapun Hak pengelolaan yang berasal dari tanah ulayat bertentangan dengan konsep dari Hak Pengelolaan itu sendiri. Hal itu disebabkan karena hak pengelolaan merupakan pelimpahan sebagai kewenangan dari hak menguasai Negara atas tanah sehingga  pemegang hak pengelolaan menerima sebagian dari hak mengusasai negara. Oleh sebab itu apabila ingin diberikan hak pengelolaan maka harus dilakukan pelepasan tanah ulayat tersebut menjadi tanah negara bebas.

Adapun jika memang pemerintah ingin melindungi hak masyarakat adat terkait keberadaan atas tanah ulayat, cukup pemerintah melakukan denah fisik atau pemetaan lahan saja dan itu telah sesuai dengan konstitusi PAsal 18 B, jelas Wendra Yunaldi. (aa)

 

 

 

 

 

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *